Jalan itu membentang di depannya, panjang, berkabut, dan sunyi. Tidak ada suara, bahkan dari langkah kakinya sendiri. Micko berhenti sejenak, menunduk, mencoba memahami hal aneh yang telah menyiksanya sejak ia tersadar di tempat ini tidak ada bayangan.
“Ini... mimpi buruk?” gumamnya, suaranya hampir tenggelam dalam kabut tebal. “Atau aku sudah... mati?”
Hanya angin yang menjawab, dingin menusuk tulang. Micko menarik jaketnya lebih erat, meskipun tahu itu sia-sia. Kecelakaan itu terus menghantui pikirannya. Cahaya yang menyilaukan, suara dentuman keras, dan akhirnya, kehampaan. Semua terenggut keluarganya, masa depannya, bahkan, sepertinya, dirinya sendiri.
Langkahnya terus membawanya maju tanpa sadar, seperti ada kekuatan yang memaksanya untuk berjalan. Hingga akhirnya, ia melihat seseorang di kejauhan. Siluet seorang wanita.
“Hei!” serunya, berlari kecil mendekat. Wanita itu berdiri dengan tenang, mengenakan gaun hitam panjang yang bergerak pelan oleh angin. Ketika Micko semakin dekat, ia bisa melihat wajahnya tenang namun penuh teka-teki.
“Kau juga... tanpa bayangan?” tanyanya, sedikit terengah.
Wanita itu menatapnya dengan senyum tipis, matanya seolah menembus hingga ke dalam jiwanya. “Bayangan hanya milik mereka yang tahu siapa dirinya,” katanya dengan nada datar. “Kau kehilangan bayangan karena kau kehilangan arah.”
Micko mengerutkan kening, merasa disudutkan. “Aku bahkan tidak tahu apa yang kucari di sini.”
“Mungkin itu sebabnya jalan ini memilihmu,” jawab wanita itu sambil mengalihkan pandangan ke depan. “Namaku Viola. Dan kau?”
“Micko.”
Viola mulai berjalan, dan Micko mengikuti tanpa sadar. Jalan itu seolah tidak berujung, setiap langkah terasa sama seperti sebelumnya. Tapi Viola berbicara, mengisi keheningan.
“Jalan ini adalah tempat di mana mereka yang tersesat akhirnya dihadapkan pada diri mereka sendiri. Tidak ada yang bisa melarikan diri dari kebenaran di sini.”
Micko berhenti. “Apa maksudmu? Kebenaran apa?”
Viola berbalik, wajahnya serius. “Apa yang membuatmu di sini, Micko? Apa yang kau hindari?”
Ia terdiam. Gambaran wajah istri dan anaknya melintas di pikirannya, diikuti oleh rasa sakit yang begitu tajam hingga ia merasa sesak. Kecelakaan itu bukan sekadar tragedi. Ia adalah penyebabnya. Ambisinya yang terlalu besar, keputusan sembrono untuk mengemudi setelah pertengkaran besar semua itu membawa kehancuran.
“Aku... aku tidak tahu,” katanya akhirnya, suaranya bergetar.
Viola mendekat, tatapannya melembut. “Kau tahu, Micko. Tapi kau terlalu takut untuk mengakuinya.”
Micko merasakan dadanya semakin berat. Ia menunduk, melihat ke tanah, dan untuk pertama kalinya, ia merasakan kekosongan yang selama ini ia coba abaikan. Air mata perlahan mengalir di pipinya.
“Aku menghancurkan mereka,” bisiknya. “Aku menghancurkan keluargaku sendiri. Mereka tidak pantas mati seperti itu.”
Viola mengangguk pelan, tidak mengatakan apa-apa. Kemudian, setelah beberapa saat, ia berbicara. “Jejakmu di sini adalah refleksi dari dirimu. Tapi tanpa bayangan, kau bebas membentuk dirimu yang baru. Kau tidak bisa mengubah apa yang telah terjadi, tapi kau bisa memilih apa yang akan terjadi selanjutnya.”
Micko mengangkat kepala, melihat Viola dengan mata yang basah namun penuh tekad. “Dan jika aku gagal? Jika aku tidak bisa menemukan jalan keluar?”
“Maka kau akan terus melangkah di sini,” jawab Viola, suaranya penuh keyakinan. “Sampai keberanianmu melampaui ketakutanmu.”
Micko menatap ke depan, ke arah kabut yang perlahan mulai memudar. Di kejauhan, cahaya hangat bersinar, samar namun menarik. Ia tahu apa yang harus ia lakukan. Langkah kakinya semakin mantap, meski beban di hatinya belum sepenuhnya hilang.
Viola berhenti, tidak mengikuti. Micko menoleh.
“Kau tidak ikut?” tanyanya.
“Jalanku berbeda,” jawab Viola, senyumnya kali ini terasa seperti perpisahan. “Bayanganmu akan kembali saat kau tak lagi mencarinya.”
Micko menatapnya untuk terakhir kali, lalu kembali melangkah menuju cahaya. Dalam hati, ia tahu ia tidak berjalan menuju kehidupan yang lama. Ia berjalan menuju sesuatu yang baru penerimaan, dan mungkin, pengampunan.
“Tanpa bayangan,” bisiknya, “mungkin aku akan menjadi sosok yang lebih terang.”
Viola memandangnya hingga sosok Micko hilang dalam cahaya. Kemudian, perlahan, ia pun memudar, meninggalkan jalan sunyi itu yang kembali kosong, menunggu jiwa lain yang tersesat.